(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Kondisi kehidupan dan keadaan ekonomi
pas-pasan memaksa Ahmad Muchsin untuk “keluar” dari rumahnya. Dia memilih hidup di gubuk tak layak di tengah persawahan Dusun Monggang, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong.
Hidupnya bergantung pada hasil jualan rongsokan dan belas kasihan orang yang miris melihat kehidupannya.
TANGAN lelaki keriput berusia 86 tahun itu basah kuyup oleh air saluran irigasi di depan rumahnya yang berupa gubuk berukuran sekira 5 x 7 meter persegi.
Kakek bercucu tiga ini langsung menyapa dan menyalami Tribunjogja.com yang menyambangi gubuk tempat tinggalnya itu, Kamis (10/11/2016).
Tinggal di sebuah gubuk kecil beratapkan asbes dan seng bukan menjadi cita-cita kakek bernama Ahmad ini. Kondisi dan perjalanan hidup yang memilukan membuatnya meninggalkan kediamannya.
Ahmad mengaku lebih nyaman tinggal di gubuk yang hanya berdinding terpal, namun asri dan segar karena angin sawah. Dia bisa melihat alam sekitar tanpa ada tembok pemisah antara tetangga dan saudara.
Ahmad bercerita, dia terpaksa meninggalkan rumah yang dihuninya selama puluhan tahun di Dusun Grudo, Desa Panjangrejo, Kecamatan Pundong itu karena kondisi ekonomi.
Ahmad akhirnya “mengungsi” ke gubuk buatannya itu bersama istrinya, Suparmi (50), setelah tidak tahan berada di rumah.
“Saya tinggal di gubuk ini tepat saat Idul Adha lalu,” katanya mengenang.
Jika biasanya Ahmad bersama istrinya menikmati suara tetangga, radio, televisi, kini mereka hanya mendengar suara katak, jangkrik, dan binatang lainnya di sawah.
Di gubuk itulah, kata Ahmad, dia terbiasa melamun dan merenungkan hidupnya yang penuh liku.
Di usianya yang semakin senja, Ahmad harus
merasakan hawa dingin dan gigitan nyamuk karena gubuk itu tak layak bagi orang seusianya.
Untuk tempat tidur dia hanya menggunakan dipan bambu yang keras.
Bahkan, untuk makan pun dia harus mendapat belas kasihan dari tetangga. Selain itu, dia menggantungkan hidup dari hasil penjualan barang rongsokan yang tak menentu.
Sementara, untuk mandi, dia terbiasa mandi di dekat kandang sapi milik warga sekitar, jika tidak mandi di makam.
“Tadi ada yang membawa arem-arem dan telur. Lumayan untuk makan anak dan istri saya,” jelasnya.
Sebelum memutuskan tinggal di gubuk, Ahmad mengaku banyak mengalami kejatuhan dalam hidupnya.
Anak semata wayangnya, Yono, kerap menjual barang-barang berharga miliknya, berupa motor, sepeda, hingga perabotan lainnya. Uang mantan buruh bangunan ini pun ludes karena perbuatan anaknya ini.
Belum lagi, kondisi keluarga Yono yang dikaruniai tiga anak ini juga berantakan. Yono akhirnya berpisah dari istri dan anak-anaknya.
Kondisi itu, kata Ahmad, ternyata membuat anaknya depresi. Yono akhirnya memutuskan pulang ke rumah orang tuanya.
Namun, bukan usaha atau bekerja untuk menyambung hidup yang dilakukan oleh Yono, dia malahan kerap bersikap kasar pada orang tuanya.
Kepada Ahmad bahkan Yono kerap mengguyur air. Ahmad pun tak habis pikir dengan kelakuan sehari-hari anaknya itu.
“Saya setiap hari diguyur air, padahal kondisi saya sudah tua. Sehingga, saya sudah tidak betah lagi berada di rumah. Belum lagi, rumah saya itu terjepit, tidak ada akses jalan keluar karena semua sudah dikelilingi tembok,” ujar Ahmad.
Bagaimana kehidupan Pak Ahmad sebelumnya, apa tak ada keluarga lain? bagaimana sikap pemerintah desa setempat?
tribunjogja.
pas-pasan memaksa Ahmad Muchsin untuk “keluar” dari rumahnya. Dia memilih hidup di gubuk tak layak di tengah persawahan Dusun Monggang, Desa Srihardono, Kecamatan Pundong.
Hidupnya bergantung pada hasil jualan rongsokan dan belas kasihan orang yang miris melihat kehidupannya.
TANGAN lelaki keriput berusia 86 tahun itu basah kuyup oleh air saluran irigasi di depan rumahnya yang berupa gubuk berukuran sekira 5 x 7 meter persegi.
Kakek bercucu tiga ini langsung menyapa dan menyalami Tribunjogja.com yang menyambangi gubuk tempat tinggalnya itu, Kamis (10/11/2016).
Tinggal di sebuah gubuk kecil beratapkan asbes dan seng bukan menjadi cita-cita kakek bernama Ahmad ini. Kondisi dan perjalanan hidup yang memilukan membuatnya meninggalkan kediamannya.
Ahmad mengaku lebih nyaman tinggal di gubuk yang hanya berdinding terpal, namun asri dan segar karena angin sawah. Dia bisa melihat alam sekitar tanpa ada tembok pemisah antara tetangga dan saudara.
Ahmad bercerita, dia terpaksa meninggalkan rumah yang dihuninya selama puluhan tahun di Dusun Grudo, Desa Panjangrejo, Kecamatan Pundong itu karena kondisi ekonomi.
Ahmad akhirnya “mengungsi” ke gubuk buatannya itu bersama istrinya, Suparmi (50), setelah tidak tahan berada di rumah.
“Saya tinggal di gubuk ini tepat saat Idul Adha lalu,” katanya mengenang.
Jika biasanya Ahmad bersama istrinya menikmati suara tetangga, radio, televisi, kini mereka hanya mendengar suara katak, jangkrik, dan binatang lainnya di sawah.
Di gubuk itulah, kata Ahmad, dia terbiasa melamun dan merenungkan hidupnya yang penuh liku.
Di usianya yang semakin senja, Ahmad harus
merasakan hawa dingin dan gigitan nyamuk karena gubuk itu tak layak bagi orang seusianya.
Untuk tempat tidur dia hanya menggunakan dipan bambu yang keras.
Bahkan, untuk makan pun dia harus mendapat belas kasihan dari tetangga. Selain itu, dia menggantungkan hidup dari hasil penjualan barang rongsokan yang tak menentu.
Sementara, untuk mandi, dia terbiasa mandi di dekat kandang sapi milik warga sekitar, jika tidak mandi di makam.
“Tadi ada yang membawa arem-arem dan telur. Lumayan untuk makan anak dan istri saya,” jelasnya.
Sebelum memutuskan tinggal di gubuk, Ahmad mengaku banyak mengalami kejatuhan dalam hidupnya.
Anak semata wayangnya, Yono, kerap menjual barang-barang berharga miliknya, berupa motor, sepeda, hingga perabotan lainnya. Uang mantan buruh bangunan ini pun ludes karena perbuatan anaknya ini.
Belum lagi, kondisi keluarga Yono yang dikaruniai tiga anak ini juga berantakan. Yono akhirnya berpisah dari istri dan anak-anaknya.
Kondisi itu, kata Ahmad, ternyata membuat anaknya depresi. Yono akhirnya memutuskan pulang ke rumah orang tuanya.
Namun, bukan usaha atau bekerja untuk menyambung hidup yang dilakukan oleh Yono, dia malahan kerap bersikap kasar pada orang tuanya.
Kepada Ahmad bahkan Yono kerap mengguyur air. Ahmad pun tak habis pikir dengan kelakuan sehari-hari anaknya itu.
“Saya setiap hari diguyur air, padahal kondisi saya sudah tua. Sehingga, saya sudah tidak betah lagi berada di rumah. Belum lagi, rumah saya itu terjepit, tidak ada akses jalan keluar karena semua sudah dikelilingi tembok,” ujar Ahmad.
Bagaimana kehidupan Pak Ahmad sebelumnya, apa tak ada keluarga lain? bagaimana sikap pemerintah desa setempat?
tribunjogja.
0 komentar:
Posting Komentar