Senin, 27 Februari 2017

Mengapa Menantu dan Mertua Berkonflik?

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
ketika seseorang memutuskan masuk dalam kehidupan
berumah tangga maka banyak hal yang harus dipersiapkan. Menikah itu tidak hanya antara satu laki-laki dengan satu perempuan, tapi berarti menyatukan dua keluarga. Memang terkadang hal-hal yang terjadi tidak selalu sesuai dengan harapan, misalnya perbedaan latar belakang keluarga yang bisa menimbulkan berbagai masalah.







Seorang ibu pernah bercerita tentang sang menantu perempuan yang tidak bisa menerima keadaan keluarga suaminya. Suami yang anak bungsu adalah satu-satunya anak yang dikuliahkan hingga menjadi sarjana dan bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah instansi pemerintah. Ibunya berharap, kelak anaknya bisa membantu saudaranya yang lain. Akan tetapi, harapan sang ibupun memudar ketika anaknya memutuskan untuk segera menikah sebelum bisa membantu saudaranya. Seolah semakin memupus harapan sang ibu, ternyata menantu perempuannya itu juga tidak mau tahu dengan keadaan keluarga suaminya. Bahkan sekadar berkunjung pun enggan, padahal rumah mereka hanya berjarak beberapa meter saja.

 Dari sini saya berpikir, apakah seorang mertua perempuan dan seorang menantu perempuan harus selalu berkonflik? Di televisi pun saya melihat iklan yang mengangkat konflik ini misalnya, “Menantu jaman sekarang, suka boros…,” atau “Menantu jaman sekarang, disuruh ini susah…”. Menurut saya ini merupakan contoh yang cukup membuktikan pendapat umum bahwa seringkali terjadi konflik menantu-mertua.

Kebetulan, saya hidup bersama mertua. Akan tetapi, saya tidak pernah menganggap mertua saya adalah orang lain. Beliau juga ibu saya, keluarga suamipun saya anggap sebagai keluarga sendiri meskipun perbedaan antara keluarga kami sangat banyak.

Prinsip saya, ketika memutuskan untuk menikah, maka tidak ada lagi kata mertua dan menantu, yang ada adalah ibu (orangtua) dan anak. Ibu mertua saya pun tidak pernah mengenalkan saya sebagai menantunya, tetapi mengenalkan saya sebagai anaknya.

Awalnya, saya memang tidak bisa langsung memahami ibu mertua. Waktu itu saya melihat ibu mertua khawatir jika saya tidak bisa mengerti keadaan keluarga suami. Sebenarnya, saya sendiri berusaha memahami mereka.

Terhadap ibu mertua, saya hanya menerapkan rasa sabar dan mengalah karena semakin tua umur seseorang, mereka semakin butuh perhatian, kasih saying, dan pengertian dari kita yang lebih muda. Itu berhasil. Kami sepertinya saling memahami dan menyayangi sebagaimana ibu dan anak perempuannya.

Jadi, jika ada anggapan mertua itu nyinyir atau galak, sebenarnya salah. Jika kita sebagai anak bisa ikut berempati pada apa yang bisa dirasakannya dan bersabar menghadapi semua keluhannya, insya Allah semua akan berjalan dengan baik tanpa ada konflik. Orangtua suami adalah juga orangtua istri. Maka, cintailah mertua seperti mencintai orangtua kandung kita. Hiduppun akan lebih indah.

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Mengapa Menantu dan Mertua Berkonflik?

0 komentar:

Posting Komentar